BAB I
PENDAHULUAN
Berbicara mengenai Ilmu Kalam dan Filsafat Islam bagi sebagian orang terkesan membingungkan. Betapa tidak, banyak kemiripan-kemiripan dari kedua disiplin ilmu tersebut. Mulai dari obyek bahasan, metode pembahasan, dan lain sebagainya. Namun, jika dipelajari lebih lanjut, sebenarnya Ilmu Kalam dan Filsafat Islam mempunyai perbedaan-perbedaan mendasar.
Ilmu Kalam, dinamakan demikian karena ilmu ini membahas permasalahan-permasalahan yang berujung pangkal pada pertanyaan: apakah kitab Allah yang kita baca (Al-Qur’an) termasuk makhluk yang bersifat qadim?
Substansi ilmu ini sendiri merupakan teori-teori (Kalam) dengan menggunakan logika dalam penetapan dalil-dalilnya, tidak ada yang diwujudkan ke dalam kenyataan atau diamalkan secara fisik
Ilmu Kalam disebut juga Ilmu Tauhid sebab pembahasannya yang paling menonjol menyangkut pokok-pokok keyakinan terhadap ke-esaan Allah (tauhid) yang merupakan asas fundamental agama Islam. Istilah yang populer digunakan memang Ilmu Kalam. Itupun baru terkenal di masa Daulah Abbasiyyah sesudah terjadi banyak perdebatan-perdebatan.
Adapaun filsafat merupakan kata Arab yang berakar dari bahasa Yunani “filosofia”. “Filosofia” berasal dari dua kata, “filo” dan “sofia “. Filo berarti “cinta” dalam arti seluas-luasnya. Sofia artinya “kebijaksanaan”. Jadi, filsafat bermakna, “cinta kepada kebijaksanaan” atau “ingin mengerti secara mendalam”.
Bila dilekatkan dengan Islam menjadi Filsafat Islam, maka akan diperoleh pengertian: “rasa ingin tahu yang mendalam atau cinta pada kebijaksanaan ajaran Islam”. Perbedaannya dengan Ilmu Kalam adalah Filsafat Islam tidak membahas perkara-perkara pokok agama (ushuly), tetapi lebih pada perkara-perkara selain itu.
Sejarah Filsafat Islam sendiri diawali dari usaha-usaha penerjemahan manuskrip-manuskrip Yunani pada era keemasan Daulah Bani Abbasiyyah. Tokoh kunci yang dianggap sebagai pencetus Filsafat Islam adalah: Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, dan lain-lain.
LATAR BELAKANG MASALAH
Salah satu firqah (golongan) yang berkembang dalam khazanah pemikiran Islam sejak zaman klasik hingga sekarang adalah Khawarij. Sebenarnya, apa dan siapakah Khawarij itu? Bagaimanakah sejarah timbul dan berkembangnya? Siapa pula tokoh-tokohnya dan bagaimanakah pendapat-pendapatnya? Makalah ini akan mencoba membahasnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN DAN SEJARAH LAHIRNYA
Golongan Khawarij adalah pengikut Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib yang tidak setuju dengan adanya gencatan senjata dan perundingan (tahkim atau arbitrase) antara pihak-pihak yang terlibat dalam Perang Shiffin, yaitu Mu’awiyah dan ‘Ali.[1]
Mereka dinamakan “Khawarij”, karena mereka keluar (kha-ra-ja) dari rumah-rumah mereka dengan maksud berjihad di jalan Allah. Mereka dinamakan juga “Syurah” karena mereka menganggap bahwasanya diri mereka telah mereka jual kepada Allah. Dinamakan juga “Haruriyah” karena mereka berlindung ke suatu kota kecil dekat Kuffah yang bernama Harur sepulangnya dari medan Perang Shiffin. Mereka dijuluki pula “Muhakkimah” dikarenakan mereka selalu mempergunakan semboyan “Laa hukma illa lillah” (tiada hukum melainkan bagi Allah).[2]
Peristiwa yang paling mendasar pengaruhnya sebagai pemicu lahirnya firqah ini adalah saat ‘Ali hendak mengirim Abu Musa Al-Asy’ari ke Daumatul Jandal untuk menyelesaikan urusan tahkim dengan pihak Mu’awiyah. Tokoh-tokoh Khawarij yang sebelumnya telah menyampaikan keberatan atas pengiriman Abu Musa Al-Asy’ari seperti Harkus bin Zuhair As-Sa’di dan Zur’ah bin Al Burj Ath-Tha-i berkumpul di rumah Abdullah bin Wahab Ar Rasibi. Tuan rumah pertemuan itu mengajak teman-temannya untuk memisahkan diri. Abdullah bin Wahab sendiri akhirnya diangkat sebagai pemimpin. Pertemuan itu ditindaklanjuti di rumah Syarih bin Aufa Al Abasi yang menghasilkan keputusan untuk pergi sendiri-sendiri ke Nahrawan dan mengajak penduduk Bashrah mengikuti jejak langkah mereka.
Pasca peristiwa tahkim, ‘Ali bin Abi Thalib mengirim surat kepada orang-orang Khawarij di Nahrawan. Akan tetapi surat itu ditolak oleh orang-orang Khawarij, kemudian ‘Ali mengirim utusan bernama Al Harits bin Murrah untuk memberi penjelasan. Ironisnya, sang utusan justru dibunuh oleh kaum Khawarij.
Akhirnya setelah proses perundingan tidak mendapat hasil, terjadilah pertempuran antara pihak ‘Ali dengan kaum Khawarij di Nahrawan. Kemenangan berada di pihak ‘Ali.
Pada musim haji tahun berikutnya, kaum Khawarij berkumpul membahas keadaan mereka dan ummat muslimin secara umum. Pertemuan ini menghasilkan keputusan berupa rencana pembunuhan 3 (tiga) tokoh penting yakni ‘Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, dan ‘Amr bin Ash karena menganggap mereka sebagai “biang kerok” kekacauan ummat Islam.
Dari ketiga tokoh tersebut, hanya ‘Ali yang berhasil dibunuh oleh Ibnu Muljam sewaktu ia akan menunaikan shalat subuh dini hari 21 Ramadlan 40 Hijriyah.[3]
B. POKOK-POKOK PENDIRIAN
Kaum Khawarij memiliki beberapa pokok pendirian (faham) yakni:
1. Bahwa ‘Ali, Utsman, dan orang-orang yang turut dalam Perang Jamal dan orang-orang yang setuju adanya perundingan antara ‘Ali dan Mu’awiyah, semua dihukumkan orang-orang “kafir”.
2. Bahwa setiap ummat Muhammad yang terus-menerus membuat dosa besar hingga matinya belum taubat, orang itu dihukumkan kafir dan kekal di neraka.
3. Bahwa boleh keluar dan tidak mematuhi aturan-aturan kepala negara (memberontak) bila ternyata kepala negara itu seorang yang dhalim atau khianat.[4]
4. Khilafah atau kepemimpinan negera tertinggi bukanlah hak orang-orang tertentu, tetapi harus diadakan pemilihan umum oleh ummat Islam.
5. Bahwa mengerjakan shalat, berpuaa, berhaji, dan ibadah-ibadah yang lain, serta menjauhi segala yang dilarang adalah bagian dari iman. Orang yang tidak melaksanakan ibadah itu dan tidak menjauhi larangan, tidak dinamakan mukmin, tapi disebut fasiq.[5]
C. TOKOH-TOKOH KHAWARIJ: ALIRAN DAN PENDAPATNYA
Pada mulanya Khawarij bersepakat dalam berfaham tersebut di atas. Namun, kemudian pecah menjadi beberapa aliran lagi yang dipimpin oleh beberapa orang tokoh, di antaranya:
1. Golongan Azariqah
Golongan Azariqah adalah para pengikut Nafi’ bin Al Azraq, tokoh Khawarij yang tinggal di Bashrah setelah kalah dalam usaha membantu Gubernur Madinah Abdullah bin Zubair memberontak kepada Yazid bin Mu’awiyah. Golongan ini adalah kelompok yang terkuat dan paling banyak jumlahnya.
Di bawah kepemimpinan Nafi’ mereka mengusir pegawa-pegawai Abdullah bin Zubair dari Bashrah dan memungut pajak dari penduduknya.
Fahamnya:
a. Semua orang yang tidak membantu atau menyalahi peraturan dan pendapat Azariqah dipandang sebagai orang musyrik yang wajib diperangi. Daerah orang-orang itu dihukumi sebagai Darus Syirki.
b. Pengikut Azariqah haram bermukim di tengah-tengah kelompok non-Azariqah, berhubungan baik dengan mereka, berbisanan, waris-mewarisi, mengikuti shalat, belajar agama, dan memakan sembelihan mereka. Pengikut Azariqah halal berkhianat, membunuh wanita dan anak-anak kelompok non-Azariqah itu.
c. Para pezina muhshan boleh tidak dirajam, hanya dicambuk saja. Bagi orang yang menuduh wanita muhshanah berzina, dikenakan hukum had, sebaliknya yang menuduh laki-laki muhshan berzina tidak dikenakan had.
Nafi sendiri terbunuh dalam pertempuran Daulah yang dilancarkan oleh penduduk Bashrah. Penggantinya berturut-turut: Ubaidullah bin Al-Mahuz (tewas terbunuh oleh Al Muhallaf bin Abi Shufrah di Ahwaz), Zubair bin ‘Ali (terbunuh juga), dan Qathari bin Al-Fuja’ah yang dihancurkan pada tahun 77 H oleh Al-Muhallaf.
2. Golongan Najdah
Golongan Najdah adalah pengikut-pengikut Najdah bin Amir sebagai pengganti Abu Thalut Al Bakri, pimpinan mereka setelah berpisah dari Ibnu Zubair. Golongan ini semula bernama Khawarij Yamamah. Najdah sendiri adalah sempalan dari Golongan Azariqah.
Menurut Asy-Syarashtani dan Al Ka’bi, faham-faham golongan Najdah antara lain:
a. Masyarakat tidak membutuhkan adanya Kepala Negara. Masing-masing individu harus bersifat jujur pada sesama, menghindari maksiat dan kesalahan. Akan tetapi, bilamana dirasa perlu untuk mewujudkan kerukunan dalam masyarakat, mengangkat Kepala Negara tidaklah mengapa.
b. Berdusta lebih jahat daripada berzina; tetap mengerjakan dosa kecil, merupakan syirik; sebaliknya, mengerjakan dosa besar tidak terus-menerus bukanlah syirik, dan darah ahlul ahdi wadz dzimmah di dalam Darut Taqiyyah, halal ditumpahkan.
Akhir kehidupan Najdah bin Amir seperti tokoh-tokoh lainnya. Ia dibunuh setelah dipecat dari golongannya sebab menyebarkan pendapat yang menyatakan bahwa agama itu terdiri dari dua bagian:
a. Beriman kepada Allah, Rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari Rasul secara garis besar dan haram menumpahkan darah pengikut-pengikutnya.
b. Hal-hal selain itu yang tidak perlu diketahui oleh semua orang hingga ada keterangan yang mengharuskan untuk mengetahuinya. Konsekuensi dari pendapatnya yang kedua ini menurut Najdah, orang yang salah dalam berijtihad dimaafkan. Sewaktu menyebarkan fahamnya, pernah Najdah melakukan penyerangan terhadap sebuah perkampungan dengan memakan harta rampasan mereka sebelum pembagian terlebih dahulu dengan dalih tidak tahu kalau yang sedemikian itu dilarang.
Pasca Najdah, golongan ini terpecah lagi menjadi 3 bagian:
1. Pengikut Athiyah bin Al Aswad dan pergi bersamanya ke Sijistan. Di antaranya: Abdul Karim bin Ajrad yang belakangan dijadikan nishbah nama golongan ini (Ajradiyyah).
Pendapatnya: menikahi cucu perempuan dari anak perempuan dan anak-anak perempuan dari anak-anak saudara laki-laki dan saudara-saudara perempuan hukumnya halal.
2. Pengikut Abu Fudaik, yang ditunjuk Najdah sebagai penggantinya. Kelompok ini dihancurkan Khalifah Abdul Malik bin Marwan di Bahrain.
3. Pengikut setia Najdah.
Persebaran Golongan Najdah terdapat di Yaman, Thaif, Amman, Baharain, Wadi Tammin, dan Amir.
3. Golongan Abadliyyah (Ibadliyah)
Golongan Abadliyah atau Ibadliyyah adalah pengikut Abdullah bin Ibadl yang memiliki pendapat:
a. Orang yang mengerjakan dosa besar tetap dipandang orang yang bertauhid, tapi tidak dinamakan mukmin juga tidak disebut musyrik. Mereka dinamakan orang-orang kafir nikmat.
b. Untuk urusan muamalah dengan kelompok di luar mereka, cenderung lebih moderat daripada kaum Azariqah.
c. Haram memakan makanan ahli kitab.
Abdullah bin Ibadl meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Di masa kini golongan Ibadliyyah (Abadliyyah) tersebar di Hadramaut (Yaman), Amman (Yordania), Zanzibar (Tanzania), dan Aljazair Selatan.
4. Golongan Shaffariyyah
Golongan Shaffariyyah adalah pengikut-pengikut Abdullah bin Shaffar yang kemudian dipimpin oleh Imran bin Khaththab.
Ciri-ciri umum: mereka berwajah pucat karena banyak beribadah malam dan menyalahi golongan yang lalu dalam beberapa perkara, di antaranya:
a. Orang berdosa besar yang tak ada hukuman had seperti: tidak mengerjakan shalat, puasa, dan sebagainya, dipandang kafir. Akan tetapi orang berdosa besar yang terdapat hukuman hadnya seperti: berzina dan sebagainya, cukup dikatakan pelaku kriminal saja.
b. Orang yang tidak bersama mereka tidak dikafirkan asal sependirian dalam bidang aqidah, memelihara diri dari bencana dengan jalan menyembunyikan aqidah, boleh dilakukan sebatas ucapan, pezina mukhsan harus dirajam, dan pembunuhan anak-anak kecil dilarang.
Selain golongan-golongan di atas, ada beberapa golongan lagi dari Khawarij yang telah dianggap menyimpang dari ajaran Islam, yaitu:
1. Golongan Maimuniyah
Faham: mengingkari adanya surat Yusuf dalam Al-Qur’an. Kalaupun ada dianggap bukan termasuk surat-surat dari Al-Qur’an.
2. Golongan Syabibiyah
Faham: wanita boleh menjadi kepala negara asalkan bekerja untuk kepentingan rakyat dan tidak bekerjasama dengan golongan lainnya.
3. Golongan Yazidiyah
Faham: syariat Islam yang dibawa Muhammad SAW akan dihapus oleh syariat yang dibawa nabi lain dari klan Quraisy.[6]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Khawarij adalah adalah pengikut Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib yang tidak setuju dengan adanya gencatan senjata dan perundingan (tahkim atau arbitrase) antara pihak-pihak yang terlibat dalam Perang Shiffin yaitu Mu’awiyah dan ‘Ali. Mempunyai nama lain Syurah, Haruriyyah, dan Muhakkimah. Mereka mengangkat Abdullah bin Wahab Ar Rasibi sebagai pemimpin pertama.
Khawarij memiliki doktrin: mengutuk semua orang yang terlibat Perang Jamal dan Perang Shiffin, mengkafirkan orang muslim yang melakukan dosa besar, memberontak pada penguasa yang dhalim, dan dosa kecil yang terus-menerus sama dengan dosa besar.
Dalam perkembangnnya Khawarij terpecah lagi dalam beberapa kelompok besar: Azariqah, Najdah, Ibadliyyah, dan Shaffariyyah dengan tokoh-tokoh kunci antara lain: Nafi’ bin Al Azraq, Najdah bin Amir, Abdullah bin Ibadl, dan Abdullah bin Shaffar.
Pendapat kelompok ini cenderung keras, literalis, dan mudah mengkafirkan terutama orang yang tidak sependapat dengan mereka, kendati mereka memiliki keistimewaan berupa keberanian dalam menghadapi musuh, keras dalam beribadah, dan mempertahankan kebenaran.
B. SARAN
Perbedaan faham dalam ummat hendaknya disikapi dengan bijaksana, tidak mudah memberi vonis kafir. Kita hanya dapat mengkafirkan golongan-golongan yang terang-terangan telah kafir.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mu’in, K.H.M. Taib Thahir.1983. Ilmu Kalam. Jakarta: Penerbit Widjaya.
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. 2001. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Semarang: P.T. Pustaka Rizki Putra.
Poedjawijatnya, I.R. 1966. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: P.T. Pembangunan Djakarta.
|