Minggu, 24 Agustus 2008

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA REFORMASI EKONOMI

Indonesia sebagai salah satu negara besar di dunia baik dilihat dari jumlah penduduk maupun luas wilayah dan kekayaan sumber daya alamnya telah mengalami tiga kali krisis ekonomi –tahun 1966, 1985, dan 1997-. Krisis ekonomi yang berulang-ulang tersebut tak ayal dapat membahayakan posisi Indonesia dalam percaturan perekonomian dunia.
Selain itu, krisis-krisis ekonomi yang terjadi seringkali justru menjadi momentum dilakukannya penghancuran terhadap rezim otoriter yang berkuasa.1 Krisis-krisis itu menerpa Indonesia karena ketidaktahanan ekonomi Indonesia dalam menghadapi tekanan “konspirasi ekonomi” internasional yang dilakukan oleh negara-negara maju yang notabene dahulu adalah kaum imperialis.
Padahal dengan Pancasila sebagai dasar negara, Indonesia seharusnya percaya diri dalam mengembangkan sistem perekonomiannya sendiri bebas dari campur tangan atau intervensi asing.
Berangkat dari kenyataan tersebut, makalah ini mencoba membahas Pancasila dalam kaitannya sebagai paradigma reformasi pembangunan di bidang ekonomi.

A.PENGERTIAN PANCASILA

Pancasila adalah dasar, jiwa, pandangan hidup, perjanjian luhur, dan modal pembangunan nasional bangsa Indonesia. Kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, dan ideologi memiliki ruang lingkup kajian ilmiah yang kompleks bahkan dalam proses terjadinya terdapat berbagai macam terminologi yang harus dideskripsikan secara obyektif.
Untuk dapat memahami Pancasila secara kronologis baik menyangkut rumusannya maupun peristilahan maka pengertian Pancasila tersebut meliputi lingkup pengertian sebagai berikut:2

Pengertian Pancasila secara Etimologis
Pengertian Pancasila secara Historis
Pengertian Pancasila secara Terminologis

1.Pengertian Pancasila secara Etimologis

Secara etimologis istilah “Pancasila” berasal dari bahasa Sansekerta, bahasa kasta Brahmana di India. Menurut Muhammad Yamin, dalam bahasa tersebut, “Pancasila” memiliki dua macam arti leksikal yaitu:
“Panca” artinya “lima”
“Syila” vokal i pendek artinya “batu sendi”, “alas”, atau “dasar”
“Syiila” vokal i panjang berarti “peraturan tingkah laku yang baik, penting atau yang senonoh”
Dalam bahasa Jawa kata-kata tersebut diartikan “susila” yang berhubungan dengan moralitas. Sehingga, kata “Pancasila” yang dimaksud adalah yang memiliki makna leksikal “berbatu sendi lima” atau “dasar yang memiliki lima unsur”
Perkataan Pancasila mula-mula terdapat dalam sastra Budha India yang bersumber pada Tri Pitaka. Ajaran Pancasila atau yang dalam sumber aslinya Pancasyiila menurut agama Budha merupakan lima aturan atau five moral principes yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh kaum awam. Pancasila mulai masuk ke dalam literatur kesusasteraan Indonesia bersamaan dengan masa penyebaran Hindu-Budha. Saat Majapahit berjaya, pujangga istana Empu Prapanca menulis syair dalam Negarakertagama sarga 53 bait 2 yang berbunyi: “Yatnaggegwani pancasyiila kertasangskarbisekaka krama” berarti Raja menjalankan dengan penuh kesetiaan kelima pantangan, begitu pula upacara-upacara ibadat dan penobatan-penobatan. Setelah Majapahit runtuh dan agama Islam masuk ke penjuru Nusantara, Pancasila masih membekas dalam masyarakat Jawa berupa mo limo: mo mateni (membunuh), mo maling (mencuri), mo madon (berzina), mo mendem (mabuk), dan mo main (berjudi).

2.Pengertian Pancasila secara Historis
Dalam sidang BPUPKI yang dipimpin dr. Radjiman Widyodiningrat yang membahas dasar negara, tampillah 3 tokoh nasional yang mengajukan pendapat masing-masing yaitu:

a.Mr. Muhammad Yamin (29 Mei 1945)
Menurut pendapat beliau yang diajukan pada Sidang BPUPKI yang pertama, dasar negara Indonesia hendaknya terdiri atas lima hal yaitu:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat

b.Prof. Dr. Mr. Soepomo (31 Mei 1945)
Sebagaimana pendahulunya, Mr. Soepomo mengajukan dasar negara Indonesia merdeka juga dengan lima hal. Tetapi, berbeda dengan Muh. Yamin, Mr. Soepomo mengajukan usul berupa pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
1. Supaya didirikan negara nasional yang bersatu dalam arti totaliter, yaitu negara tidak akan mempersatukan diri dengan kelompok terbesar, tetapi akan mengatasi semua golongan baik besar ataupun kecil. Di dalamnya, urusan agama diserahkan kepada golongan-golongan agama yang bersangkutan.
2. Anjuran agar para warga negara takluk kepada Tuhan, supaya tiap-tiap waktu ingat Tuhan.
3. Dibentuknya sistem badan permusyawaratan untuk menjamin pimpinan negara, terutama kepala negara terus-menerus bersatu jiwa dengan rakyat dalam susunan pemerintahan negara Indonesia.
4. Sistem ekonomi kekeluargaan, sistem tolong-menolong, dan sistem koperasi dipakai sebagai salah satu dasar ekonomi negara.
5. Di bidang luar negeri, Indonesia hendaknya bersifat negara Asia Timur Raya, anggota dari kekeluargaan negara Asia Timur Raya.

c.Ir. Soekarno ( 1 Juni 1945)
Saat Sidang Kedua BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno memberikan pidatonya tentang dasar negara Indonesia merdeka yang ia beri nama “Pancasila”, yang berisi:
1. Nasionalisme atau Kebangsaan Inonesia
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang berkebudayaan
Pada sidang inilah, istilah Pancasila dalam sejarah Indonesia modern muncul yang oleh Bung Karno sendiri dikatakan berasal dari salah satu temannya yang ahli bahasa tanpa menyebutkan namanya. Karena itulah, 1 Juni diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila.
Dalam sejarahnya, setelah Bung Karno mejadi Presiden konsep Pancasila tersebut diperas menjadi “Tri Sila” yang rumusannya adalah:
1.Sosio- Nasional yaitu: “Nasionalisme dan Internasionalisme”
2.Sosio-Demokrasi yaitu: “Demokrasi dengan Kesejahteraan Rakyat”
3.Ketuhanan yang Maha Esa
Bahkan Tri Sila ini pernah diperas menjadi “Eka Sila” dengan satu unsur yaitu “Gotong-royong”.



3.Pengertian Pancasila secara Terminologis
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 memberikan dampak luar biasa di bidang ketatanegaraan. Maka, pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengadakan sidang untuk mengesahkan Undang-Undang Dasar. UUD tersebut terdiri atas Pembukaan, 37 Pasal, 1 Aturan Peralihan terdiri dari 4 Pasal, dan 1 Aturan Tambahan terdiri dari 2 ayat.
Pada bagian Pembukaan UUD 1945 yang terdiri dari 4 alinea inilah, rumusan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang sah secara konstitusional tercantum dengan rumusan:
1.Ketuhanan Yang Maha Esa
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Sepanjang sejarah Republik, dalam upaya mempertahankan kedaulatan sebagai sebuah bangsa yang merdeka, terdapat rumusan-rumusan lain dari Pancasila, yaitu:

a.Piagam Jakarta (22 Juni 1945)
Panitia Sembilan yang dibentuk untuk menyusun dasar negara bersidang pada 22 Juni 1945 menghasilkan suatu keputusan yang diberi nama “Piagam Jakarta” yang berisi:
1.Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

b.Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS)
Pada KRIS yang berlaku dari 29 Desember 1949-17 Agustus 1950, rumusan Pancasila yang termaktub adalah:
1.Ketuhanan Yang Maha Esa
2.Peri Kemanusiaan
3.Kebangsaan
4.Kerakyatan
5.Keadilan sosial

c.Undang-Undang Dasar Sementara 1950
Dalam UUDS ’50 yang berlaku dari 17 Agustus 1950-5 Juli 1959, rumusan Pancasila yang termuat adalah:
1.Ketuhanan Yang Maha Esa
2.Peri Kemanusiaan
3.Kebangsaan
4.Kerakyatan
5.Keadilan sosial

d.Kalangan Masyarakat 1966
Sementara itu, pada dekade 60-an di kalangan masyarakat beredar rumusan Pancasila yang beranekaragam, antara lain:
1.Ketuhanan Yang Maha Esa
2.Peri Kemanusiaan
3.Kebangsaan
4.Kedaulatan Rakyat
5.Keadilan Sosial

Berdasarkan Ketetapan MPR No.: XX/MPRS/1966 dan Inpres No. 12 tanggal 13 April 1968, pengucapan, penulisan, dan rumusan Pancasila yang sah dan benar adalah sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.3

B.ASAL MULA PANCASILA

Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi bangsa dan negara tidaklah terbentuk secara mendadak. Menurut asal mulanya, Pancasila dapat dibagi menjadi dua4:

1.Asal mula langsung
Menurut Notonagoro, asal mula langsung Pancasila apat dibagi dalam berbagai aspek:

a.Asal mula bahan (Kausa Materialis)
Pancasila berasal dari bangsa Indonesia sehingga ia pada hakikatnya merupakan hasil penggalian nilai-nilai, adat-istiadat, kebudayaan, dan nilai-nilai religius bangsa Indonesia.

b.Asal mula bentuk (Kausa Formalis)
Asal mula bentuk Pancasila sebagaimana tercantum pada Pembukaan UUD 1945 adalah Ir. Soekarno-Drs. Muhammad Hatta beserta anggota BPUPKI lainnya yang merumuskan, membahas, dan mengesahkan bentuk dan nama Pancasila.

c.Asal mula karya (Kausa Effisien)
Asal mula karya atau asal mula yang menjadikan Pancasila dari calon dasar negara menjadi dasar negara yang sah adalah kewenangan dari lembaga yang berhak mengesahkan dasar negara, dalam BPUPKI, Panitia Sembilan, dan PPKI.

d.Asal mula tujuan (Kausa Finalis)
Pembahasan Pancasila dalam sidang-sidang BPUPKI, Panitia Sembilan, an PPKI bertujuan untuk dijadikan dasar negara.

2.Asal mula tak langsung
Bila dirinci, asal mula tak langsung Pancasila adalah sebagai berikut:
i.Nilai-nilai dari sila-sila Pancasila telah ada dan tercermin dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
ii.Nilai-nilai itu terkandung dalam pandangan hidup bermasyarakat dan menjadi pedoman dalam memecahkan problema kehidupan bangsa.
iii.Dapat disimpulkan bahwa asal mula tak langsung dari Pancasila adalah rakyat Indonesia sendiri.

C.FUNGSI PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI REFORMATIF

Pancasila sebagai sebuah ideologi tidaklah bersifat kaku atau tertutup, melainkan bersifat terbuka, dinamis, reformatif dan aktual. Eksplitasi Pancasila dengan situasi dan kondisi zaman yang berubah mutlak dilakukan. Maka, sejak reformasi bergulir diambil langkah-langkah eksplitasi oleh MPR ataupun DPR berupa pencabutan asas tunggal Partai Politik dan Organisasi Kemasyarakatan, pencabutan P4, dan pengembalian fungsi Pancasila sebagai dasar negara RI. Hal ini dilakukan dalam Sidang Istimewa MPR, 10-13 Nopember 1998. Berdasarkan TAP MPR No. XVIII/MPR/1998 Presiden secara yuridis tidak memiliki wewenang lagi untuk mengembangkan Pancasila. Jadi, bila ada wacana pada saat ini untuk kembali pada asas tunggal berarti juga mengebiri Pancasila dan merupakan suatu langkah mundur.

D.SEJARAH REFORMASI

Merajalelanya perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme, ketidakpercayaan rakyat pada aparat pemerintahan dan wakil rakyat, pengembangan sistem politik yang otoriter dan cenderung berpusat pada para penguasa negara, kelompok militer, cerdik cendikiawan dan wiraswasta oligopolistik yang bekerjasama dengan kelompok internasional menimbulkan dampak luar biasa bagi segenap bangsa Indonesia saat terjadi krisis ekonomi dahsyat awal 1997.
Pancasila yang harusnya dijadikan norma dasar pembangunan hanya dibuat sebagai alat legitimasi politik penguasa belaka.
Puncak dari itu semua ialah ancurnya sendi-sendi ekonomi negara. Maka timbullah gerakan dari mahasiswa bersama rakyat yang menuntut Reformasi di segala bidang.
Gerakan Reformasi tersebut berhasil menggulingkan kekuasaan Presiden Soeharto, presien ke-2 RI yang berkuasa lebih kurang 32 tahun pada tanggal 21 Mei 1998. Digantikan oleh Wakil Presiden B.J. Habibie dengan Kabinet Reformasi Pembangunan, masa transisi dimulai. Berbagai perubahan dilakukan baik di lembaga-lembaga negara, perundang-undangan, dwi-fungsi ABRI, dan tak lupa bidang ekonomi yang saat itu mengalami chaos dengan kurs Rupiah terpuruk pada level Rp. 15.000,00 per Dollar Amerika Serikat.
Dalam era pemerintahan Presiden B.J. Habibie inilah diadakan Pemilihan Umum 1999 yang menghasilkan Presiden K.H. ‘Abdurrahman Wahid pada suatu Sidang Paripurna MPR yang mana dipimpin oleh salah satu tokoh Reformasi, Prof. Dr. M. Amien Rais, 21 Oktober 1999.
Tidak berapa lama, Presiden Wahid menjalankan kekuasaannya terjadilah suatu skandal yang diberi nama Buloggate and Bruneigate. Skandal tersebut membuat Presiden Wahid dengan terpaksa menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri, 21 Juli 2002.
Di akhir masa kekuasaan Presiden Megawati, diselenggarakanlah Pemilihan Umum 2004, dimana di dalamnya terdapat dua pemilihan, yaitu Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden, untuk pertama kalinya sebagai konsekuensi Amandemen UUD 1945. Di mana pada Pilpres 2004 ini terpilihlah Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla.

E.SISTEM DAN PERMASALAHAN EKONOMI INDONESIA

1.Sistem Ekonomi Indonesia
Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan dalam Pembukaannya bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Penegasan di atas tidak terlepas dari pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan yaitu negara hendak mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penjabaran akan hal itu terdapat pada Pasal 33 UUD 1945 yang melandasi usaha-usaha pembangunan ekonomi atau sistem ekonomi di Indonesia. Pasal 33 tersebut berbunyi:
1)Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
2)Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara.
3)Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
4)Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
5)Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.5
Dalam penjelasannya, Pasal 33 UUD 1945 merinci: bahwa ekonomi nasional berdasar pada demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh dan untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai ialah koperasi.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di alamnya harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh kepada perseorangan yang berkuasa dan mengakibatkan penindasan rakyat. Hanya produksi yang tak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh dikuasai perseorangan.
Adapun ciri-ciri Demokrasi Ekonomi lainnya adalah:
1. Perekonomian daerah dikembangkan secara serasi dan seimbang antar daerah dalam suatu kesatuan perekonomian nasional dengan memberdayakan potensi daerah secara optimal dengan visi Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.
2. Warga negara memliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki, mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan disertai pengakuan akan hak milik pribadi dengan syarat pemanfaatannya tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat.6

2.Masalah-masalah Ekonomi Indonesia
Sebagai sebuah sistem, Demokrasi Ekonomi yang dianut negara Republik Indonesia mengadapi tantangan zaman globalisasi seperti:
a.Sistem free fight liberalism yang menumbuhkan eksploitasi terhadap manusia dan bangsa lain yang berakibat bagi bangsa Indonesia berupa kelemahan struktural ekonomi nasional.
b.Sistem etatisme yang berarti dominasi negara beserta aparatue ekonominya sehingga menimbulkan akibat matinya potensi dan daya kreasi unit ekonomi di luar sektor negara.
c.Persaingan usaha tak sehat, pemusatan kekuatan ekonomi pada kelompok konglomerat berupa monopoli dan monopsoni yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan jiwa keadilan sosial.
Selain itu, menghadapi era perdagangan bebas saat ini, bangsa Indonesia masih bergelut menuntaskan masalah-masalah ekonomi yang klasik seperti:
i.Lapangan kerja produktif dan pengangguran. Masalah ini sebagai akibat ketimpangan antara produktivitas dan kuantitas tenaga kerja dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Hal ini diperparah dengan keengganan generasi muda berkerja di sektor pertanian yang merupakan sektor kerja mayoritas di negeri ini. Terkait pula dengan minimnya kesejahteraan dan perlindungan petani.
ii.Ketimpangan perimbangan kekuatan ekonomi di antara golongan masyarakat sebagai pelaku aktif proses produksi dan distribusi barang.
iii.Ketidakseimbangan kekuatan ekonomi antar daerah sebagai akibat kesalahan konsentrasi pembangunan di masa lalu yang bepusat pada kota-kota besar khususnya di Pulau Jawa. Meskipun saat ini masalah tersebut sudah mulai dapat diatasi dengan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam kerangka otonomi daerah.7

F.REFORMASI EKONOMI INDONESIA

Seperti telah sering disinggung di depan, awal mula gerakan reformasi di Indonesia adalah keterpurukan ekonomi bangsa menghadapi krisis moneter 1997. Tanda-tanda terjadinya krisis tersebut adalah likuidasi 16 bank umum oleh Menteri Keuangan saat itu, Drs. Mar’ie Muhammad karena kredit macet yang luar biasa parah di samping terjadinya skandal pelarian dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) ke luar negeri oleh para pemilik bank-bank tersebut.
Hal itu menunjukkan betapa lemahnya ketahanan ekonomi nasional sebagai akibat pelanggaran-pelanggaran terhadap amanat Pancasila dan UUD 1945 di bidang ekonomi.
Rakyat yang seharusnya merasakan sutu keadilan sosial dan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab justru mengalami nasib sebaliknya. Kekayaan mereka digunakan oleh para penguasa secara tidak semestinya. Demokrasi Ekonomi yang sering digembar-gemborkan oleh Orde Baru, mereka gembosi sendiri. Kekuatan ekonomi dibuat berpusat pada para konglomerat kroni-kroni penguasa, bahkan dipusatkan pada keluarga penguasa yang terkenal dengan sebutan “Keluarga Cendana”. Praktek monopoli, oligopoli, an monopsoni terkesan dilindungi. Koperasi yang seharusnya menjadi soko guru ekonomi nasional dikangkangi dan dimarjinalkan menjadi hanya sekedar hidup, sekedar nama, tanpa kontribusi signifikan berkeadilan bagi rakyat.
Untuk mengatasi keadaan carut-marut itu, pada masa reformasi ini perubahan-perubahan telah mulai dilakukan oleh lembaga-lembaga negara. Dimulai dengan Ketetapan-Ketetapan MPR mengenai Reformasi di Bidang Ekonomi, penyusunan UU Anti Monopoli, amandemen beberapa UU bidang ekonomi yang dinilai tiak sesuai dengan jiwa dan semangat reformasi sampai akhir-akhir ini terbitnya Penetapan Presiden tentang Daftar Negatif Investasi, Penetapan Presiden tentang Prosedur Peruntukan Lahan untuk Pembangunan, pengesahan UU Ketenagakerjaan, UU Penanaman Modal, dan UU Perlindungan Konsumen adalah bukti bagaimana reformasi di bidang ekonomi telah dijalankan.
Langkah reforamatif lain yang tak kalah penting ialah penerapan dual system economy atau ekonomi dua sistem yaitu ekonomi konvensional berupa sistem ekonomi pasar (liberal) dan sistem ekonomi syari’ah. Pengetrapan dual system ini tampak mencolok dengan peresmian Direktorat Perbankan Syariah pada Bank Indonesia, masuknya sistem syariah pada Undang-Undang Perbankan, rencana Pemerintah untuk menerbitkan obligasi dan/atau surat utang negara syariah atau dalam bahasa fiqh disebut sukuk, serta terbitnya peraturan perundang-undangan yang mengatur perekononomian syariah meliputi bidang perbankan syariah dan asuransi syariah. Bahkan, berdasarkan rekomendasi Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) ke-3 di Riyadh, Arab Saudi awal November 2007 lalu dimungkinkan dalam beberapa tahun mendatang Indonesia akan menggunakan Dinar (mata uang dari emas) dan/atau Dirham (mata uang dari perak) sebagai mata uang pendamping Rupiah guna memperkuat dan menjaga kestabilan nilai tukar Rupiah khususnya untuk urusan perminyakan dan hubungan dengan negara-negara Islam Timur Tengah. Tampaknya langkah reformasi berupa sistem ekonomi syariah ini dilakukan mengingat berdasarkan pengalaman Bank Muamalat sebagai satu-satunya Bank Syariah masa itu berhasil bertahan dengan sangat baik menghadapi goncangan krisis ekonomi 1997 lalu. Inilah bukti bahwa nlai-nilai Ketuhanan sila pertama Pancasila yang berdasarkan pada agama, khususnya dalam hal ini Islam sebagai agama mayoritas di negeri ini mampu menjawab tantangan zaman seberat apapun. Jadi, tidak semestinya rakyat Indonesia ini takut pada hal-hal yang berbau agama khususnya Islam dengan memposisikan seolah-olah Islam berlawanan dengan Pancasila. Anggapan ini adalah salah besar, sebab nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila berkesesuaian pula dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Di bidang kebijakan, reformasi ekonomi dilaksanakan dengan pemrograman pembangunan berupa Propenas (Program Pembangunan Nasional) dalam jangka lima tahun sebagai pengganti Pelita di zaman Orde Baru, REPETA (Rencana Pembangunan Tahunan) berjangka satu tahun, dan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) sebagai pengganti GBHN berdasar Amandemen UUD 1945 yang menghapus kewenangan MPR menyusun suatu Garis-garis Besar Haluan Negara. Di daerah, sebagai wujud otonomi daerah, kebijakan-kebijakan reformatif tersebut diejawantahkan dalam RPJMD (Rencana Pmbangunan Jangka Menengah Daerah).
Sedangkan untuk menimalisir terjadinya kembali korupsi, kolusi, dan nepotisme seperti di masa lalu yang turut meruntuhkan sendi- sendi ekonomi, langkah reformatif yang dilakukan ialah membentuk KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara) yang kemudian diperluas menjadi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Komisi ini bertugas menerima dan memeriksa laporan kekayaan dari para pejabat negara serta memproses penyelidikan atas dugaan terjadinya kasus korupsi. Sampai saat karya tulis ini ditulis, KPK telah berhasil mengungkap beberapa kasus korupsi yang merugikan negara milyaran rupiah.
Diharapkan dengan langkah-langkah reformatif yang telah dilakukan, ekonomi Indonesia bisa lebih baik dan lebih tahan banting. Meskipun harapan itu tampaknya masih memerlukan usaha keras, kesabaran yang tinggi, dan waktu yang lama.

G.PARADIGMA REFORMASI BIDANG EKONOMI

Dalam Kamus Elektronik karya Ebta Setiawan, paradigma berasal dari istilah bahasa Inggris paradigm yang berarti model pola atau contoh.8 Sehingga dalam pembahasan paradigma reformasi bidang ekonomi ini, model pola yang dimaksud tak lain dan tak bukan adalah Pancasila sebagai nilai dasar pembangunan nasional.
Maksud dari Pancasila sebagai nilai dasar pembangunan adalah agar nilai-nilai luhur atau norma-norma Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dijadikan tolak ukur dalam melaksanakan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi pembangunan.
Pengejawantahan Pancasila sebagai paradigma reformasi ekonomi secara normatif ialah bahwa dalam melaksanakan reformasi ekonomi, kebijakan- kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga negara tidak boleh bertentangan dengan Pancasila atau bahkan mengkhianati nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Sedang dalam tataran operasional, reformasi ekonomi haruslah bermuatan nilai-nilai Pancasila seperti muatan nilai-nilai Ketuhanan dalam akomodasi sistem ekonomi syariah, nilai-nilai kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan dengan penguatan dan perlindungan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), perlindungan dan pembinaan secara intensif sektor usaha koperasi sebagai soko guru perekonomian bangsa, dan tak lupa penciptaan supremasi hukum yang berkeadilan demi kondusivitas sektor usaha berupa penanaman modal dalam negeri maupun asing.

(Makalah ini disusun oleh Luqman Amirudin Syarif, mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Alamat: luasy-01@plasa.com atau rumahlain-LuqmanAmirudin.blogspot.com)

DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2002. Piagam Jakarta Undang-Undang Dasar 1945 Beserta Penjelasannya.. Bandung:. Penerbit Citra Umbara
Hurriyati, Ratih. 1995. Penuntun Belajar Ekonomi 2 untuk SMU Kelas 2. Bandung: Ganeca Exact.
M.S, Kaelan. 2001. Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Penerbit Paradigma.
Setiawan, Ebta. 2007. Kamus 2.03 Freeware. Yogyakarta: Ebsoft.web.id
Sulthon, M.Si. 1999. Pembangunan Ekonomi dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia dalam Jurnal Ilmiah Menara Edisi 2 Tahun I. Ponorogo: Lembaga Penelitian dan Studi Kawasan Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
Tim Penyusun Materi Pelengkap Penataran P4 BP7 Pusat. 1993. Bahan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Garis-garis Besar Haluan Negara. Jakarta: BP7 Pusat.

MODEL PENAFSIRAN AL-QUR’AN




PENDAHULUAN


1 Pengertian

“Model” berarti contoh, acuan, ragam, atau macam. Sedangkan penelitian berarti pemeriksaan, penyelidikan yang dilakukan dengan berbagai cara dengan tujuan mencari kebenaran-kebenaran obyektif.

Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, yang kemudian diterjemahkan oleh bangsa Arab dengan kata thariqat dan manhaj. Sedang dalam bahasa Indonesia sendiri memiliki arti: “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai sesuatu yang ditentukan.

“Tafsir” berasal dari bahasa Arab, fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman, dan perincian. Dapat pula berarti al-idhah wa al-tabyin yaitu penjelasan dan keterangan.

Dalam kaitan studi tafsir, dapat diperjelas dengan pengertian: suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sehingga pengertian dari metodologi tafsir adalah pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran Al-Qur’an.


2 Perkembangan Metodologi Tafsir


Secara garis besar berdasarkan pada perkembangan zamannya, penafsiran Al-Qur’an dilakukan melalui empat metode:

  • Ijmali (global); zaman nabi dan sahabat.

Nabi dalam menafsirkan al-Qur’an menggunakan metode ini dikarenakan pada saat itu para sahabat sudah mampu menangkap makna yang dimaksud oleh Rasulullah SAW meskipun hanya dalam bentuk gambaran umum yang tak terperinci.

Metode ini juga dipakai dalam Tafsir Al-Jalalain karya As-Suyuthi dan Taj At-Tafasair karya Al-Mirghani.

  • Tahlili (analitis); zaman perluasan wilayah kekhalifahan Islam.

Seiring perluasan wilayah kekhalifahan Islam baik Daulah Bani Umayyah maupun Bani ‘Abbasiyah, banyak orang-orang 'Ajam (non-Arab) yang masuk Islam. Mereka kurang dapat mengerti maksud ayat al-Qur’an secara umum. Untuk memenuhi kebutuhan mereka tersebut dengan ijtihad para mufassir muncullah metode ini. Pada awalnya metode ini bertitik tumpu pada riwayat (ma’tsur), tetapi kemudian berkembang dengan menggunakan ar-ra’y seperti yang dilakukan Ath-Thabari.

  • Muqarin (perbandingan); zaman pembukuan hadits.

Metode ini muncul untuk memenuhi kebutuhan ummat yang ingin memahami makna ayat terutama pada ayat-ayat yang redaksionalnya mirip. Karya terkenal dari masa ini ialah: Durrat at Tanzil wa Ghurrat al Ta’wil karya Al-Khatib Al-Iskafi (240 H).

  • Maudlu’i (tematik); abad modern.

Lahir sebagai pemenuhan kebutuhan ummat di zaman modern yang ingin memahami makna al-Qur’an secara ringkas, padat, dan cepat tanpa harus membuka kitab-kitab tafsir yang tebal. Istilah metode ini sendiri dipopulerkan oleh Ustadz al-Jil Prof Dr. Ahmad al-Kuumy.


PEMBAHASAN


1 Model Quraish Shihab


Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab (1944) terdapat dua model penafsiran Qur’an yaitu:

1.1 Model Bercorak Ma’tsur (Riwayat)

Model ini berkembang pada zaman sahabat Nabi Muhammad SAW yang mana bila mereka gagal menemukan penjelasan Nabi, mereka merujuk kepada bahasa dan syair-syair Arab. Sebagai contohnya, Umar bin Khattab pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam firman Allah: Auw ya’khuzabum ‘ala takhawwuf. (Q.S. 16:47).

Kelebihan dari metode ini antara lain:

  1. mementingkan aspek bahasa dalam memahami Al-Qur’an, memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.

  2. mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat sehingga mencegahnya terjerumus ke dalam subyektivitas.

Sedang kekurangannya:

  1. terjerumusnya mufassir ke dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele.

  2. seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbabun nuzul) atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hokum hamper dapat terabaikan sama sekali.


1.2 Model Penalaran


1.2.1 Metode Ijmali (Global)

Pengertian : menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Bersistematika penulisan menurut susunan ayat-ayat dalam mushaf.

Contoh : Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim karya Muhammad Farid Wajdi, Tafsir Jalalain.

Ciri-ciri : tidak ada ruang bagi mufassir untuk mengemukakan pendapat atau ide-idenya sendiri, bersifat ringkas dan umum hingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca adalah tafsirnya.

Kelebihan : praktis dan mudah dipahami, bebas dari penafsiran Israiliat1, akrab dengan bahasa Al-Qur’an.

Kekurangan : menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial (tidak utuh/padu), tak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.


1.2.2 Metode Tahlili (Analitis)

Pengertian : menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai keahlian dan subyektivitas mufassir.

Contoh : Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Manar.

Ciri-ciri : terbagi dalam dua bentuk: ma’tsur (riwayat) dan ra’y (pemikiran), pembahasannya bersifat melebar, bukan menafsirkan Al-Qur’an dari awal mushaf sampai akhirnya.

Kelebihan : ruang lingkup luas, memuat brbagai ide.

Kekurangan : menjadikan petunjuk Al-Qur’an parsial, melahirkan penafsiran subyektif, memasuki pemikiran Israiliat.


1.2.3 Metode Muqarin (Perbandingan)

Pengertian : membandingkan teks atau nash ayat-ayat Al-Qur’an dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan, atau dengan hadits yang pada lahirnya terlihat bertentangan atau membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Contoh : Tafsir karya Al-Biqa’i.

Ciri-ciri : membandingkan ayat dengan ayat, membandingkan ayat dengan hadits, dan memperbandingkan pendapat mufassir.

Kelebihan : memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada para pembaca, membuka pintu toleransi terhadap pendapat orang lain, mendorong kehati-hatian dalam menafsirkan al-Qur’an.

Kekurangan : tidak dapat diberikan pada pemula, kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh dalam masyarakat, terkesan hanya sebagai penulusuran tafsiran-tafsiran mufassirin.


1.2.4 Metode Maudlu’i (Tematik)

Pengertian : membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai tema atau judul yang telah ditetapkan.

Contoh : Al-Insan fi Al-Qur’an karya Mahmud al-‘Aqqad, Ar-Riba’ fi Al-Qur’an karya al-Maududi.

Ciri-ciri : menghimpun ayat-ayat berkaitan dengan judul sesuai kronologis waktu turunnya, menelusuri asbabun-nuzul ayat-ayat terhimpu, penelitian secara cermat kata dan kalimat yang terkandung, pengkajian terhadap pemahaman-pemahaman mufassirin tentang ayat tersebut, menghindari sejauh mungkin subyektivitas mufassir.

Kelebihan : menjawab tantangan zaman, praktis-sistematis, dinamis, dan membuat pemahaman menjadi utuh.

Kekurangan : memenggal ayat Al-Qur’an, membatasi pemahamanan ayat.


2 Model Ahmad Al-Syarbashi


Model penafsiran ini menggunakan metode deskriptif, eksploratif, dan analisis. Ruang lingkup hasil penelitiannya mencakup:

  1. mengenai penafsiran Al-Qur’an yang dibagi ke dalam tafsir di zaman sahabat Nabi.

  2. mengenai corak tafsir yaitu tafsir ilmiah, tafsir sufi, dan tafsir politik.


3 Model Syaikh Muhammad Al-Ghazali


Dalam model penelitian tafsir ini, metode yang dipergunakan ialah metode eksploratif, deskriptif, dan analisis dengan merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang ditulis ulama terdahulu.


4 Model Lain


Dengan model ini, diantara mufassir ada yang memfokuskan penelitiannya pada kemu’jizatan Al-Qur’an; metode-metode, dan kaidah-kaidah dalam menafsirkan Al-Qur’an, serta ada pula yang khusus meneliti corak dan penafsiran Al-Qur’an yang terjadi pada abad keempat Hijriyah.

Demikianlah, upaya ummat Islam untuk mengamalkan kitab sucinya, Al-Qur’an telah menghasilkan berbagai macam metode penafsiran. Kesemuanya tak lain dan tak bukan hanyalah untuk menegakkan kalimat Allah semata. Kewajibanlah untuk terus belajar!


(Makalah ini disusun oleh Juminto dan Luqman Amirudin Syarif, mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Alamat: luasy-01@plasa.com atau rumahlain-LuqmanAmirudin.blogspot.com)


DAFTAR PUSTAKA


Baidan, Nasruddin. Dr. 1998. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Nata, Abuddin. 2001. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Persada.











1 Segala sesuatu yang bersumber dari kebudayaan Yahudi atau Nasrani, baik yang ternaktub dalam Taurat, Injil, dan penafsiran-penafsirannya maupun pendapat orang-orang Yahudi atau Nasrani mengenai ajaran agama mereka.



KEDUDUKAN HADITS DAN INKARUSSUNNAH


Ulumul Hadits sebagai sebuah disiplin ilmu yang membahas dan membedah segala hal yang berkenaan dengan hadits sangat penting untuk dipelajari oleh ummat muslimin agar mereka benar-benar mengetahui fungsi dan kedudukan hadits dalam syari’at Islam.

Berkenaan dengan kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, terdapat sebuah paham/golongan yang tak mengakui keabsahan hadits (sunnah) sebagai sumber hukum yaitu Inkarussunnah.

Bagaimana sebenarnya kedudukan hadits dan paham Inkarusunnah? Makalah sederhana ini akan mencoba membedahnya.

  1. Kedudukan Hadits


    1. Hadits sebagai Sumber Hukum Islam


Kedudukan sunnah (hadits) dalam Islam adalah sebagai sumber hukum dasar (tasyri’iyyah) kedua setelah Al-Qur’an yang selalu berintegrasi dengannya. Beragama tak sempurna tanpa sunnah (hadits), tak mungkin sempurna syari’ah tanpa sunnah. Hal ini dikarenakan oleh:

1. Fungsi sunnah (hadits) sebagai penjelas Al-Qur’an.

Bila nash Al-Qur’an adalah pokok asal, maka sunnah adalah penjelas (tafsir) yang dibangun karenanya. Dengan demikian, segala urusan dalam sunnah berasal dari Al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri mengandung segala permasalahan secara paripurna, tidak ada suatu masalah duniawi ataupun ukhrawi yang tertinggal. Akan tetapi, karena penjelasan Al-Qur’an masih sangat global, maka perlu diterangkan secara rinci melalui sunnah (hadits).

2. Mayoritas sunnah relatif kebenarannya (dhanniy ats-tsubut).

Seluruh ummat Islam berkonsensus bahwa Al-Qur’an seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir1 sehingga memiliki sifat absolut kebenarannya (qath’i ats-tsubut). Di antara petunjuk yang diberikan Al-Qur’an ada yang bermakna secara tegas dan pasti (qath’i ad-dilalah) dan bermakna relatif (dhanni ad-dilalah).

Sedangkan sunnah (hadits) ada yang mutawatir yang bermakna qath’i ats- tsubut juga ada –bahkan mayoritas- yang ahad2 yang bermakna dhanny ats-tsubut. Karena hadits mayoritas bermakna dhanny ats-tsubut, tentu saja kedudukannya menjadi di bawah Al-Qur’an.


    1. Dalil-Dalil Kehujjahan Hadits


  1. Dalil Al-Qur’an


a). Konsekuensi iman kepada Allah kepada-Nya dan rasul-Nya yang berarti taat pada apa yang diwahyukan oleh Allah dan disampaikan oleh Rasulullah.

Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.” (Ali ‘Imran (3): 179).

b). Perintah beriman kepada Rasul dilekatkan dengan beriman kepada Allah.

Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (Q.S. An-Nisa’(4): 136).

c). Kewajiban taat kepada Rasul karena menyambut perintah Allah.

Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. An-Nisa (4): 64).

d). Perintah taat kepada Rasul bersama perintah taat kepada Allah.

Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". ( Ali-‘Imran (3): 32).

e). Perintah taat kepada Rasul secara khusus.

Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (Q.S. Al-Hasyr (59):7).


  1. Dalil Hadits


Nabi SAW bersabda, yang artinya, ”Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh pada keduanya yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (HR. Al-Hakim dan Malik).


  1. Ijma’Para Ulama


Para ulama sepakat bahwa sunnah (hadits) sebagai hujjah, semua ummat muslim menerima dan mengikutinya kecuali minoritas orang. Kehujjahan sunnah itu kadang kala berfungsi sebagai mubayyin (penjelas) terhadap Al-Qur’an atau berdiri sendiri sebagai hujjah untuk menambah hukum-hukum yang belum diterangkan oleh Al-Qur’an. Kehujjahan sunnah sendiri berdasar dalil-dali qath’i (pasti), maka bagi yang menolaknya dihukum murtad. Adapun sunnah (hadits) yang diterima sebagai hujjah adalah yang memenuhi persyaratan shahih, baik mutawatir atau ahad.


  1. Inkarussunnah


  1. Pengertian

Secara bahasa, Inkar Sunnah terdiri dari dua kata, yaitu ”inkar” dan ”sunnah”. Kata ”inkar” berasal dari bahasa Arab: ankara-yunkiru-inkaaran yang bermakna secara estimologis sebagai: ”menolak, tidak mengakui, dan tidak menerima sesuatu, baik lahir dan batin atau lisan dan hati yang dilatar belakangi oleh faktor ketidaktahuannya atau faktor lain semisal gengsi dan lain-lain.” Sedangkan ”sunnah” memiliki pengertian, ”segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir.”3

Menurut istilahnya, Inkar sunnah adalah ”sebuah paham atau gerakan yang ada di kalangan umat Islam yang menolak sunnah Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hukum Islam tanpa ada alasan yang dapat diterima.”4 mereka hanya berpegang kepada al-Quran saja, ada juga menyebut inkar sunnah dengan munkir sunnah.

  1. Sejarah

Edi Safri mengatakan bahwa tidak diketahui secara pasti kapan pertama kali munculnya kelompok inkar sunnah, menurut beliau setidaknya informasi Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm menjadi informasi yang memberikan gambaran bahwa di penghujung abad kedua atau awal abad ketiga Hijriyah, ada masyarakat yang menganut inkar sunah dan telah menampakkan diri sebagai kelompok tersendiri dengan berbagai alasan untuk mendukung keyakinan mereka, mereka menolak hadis sunah sebagai sumber ajaran Islam yang wajib ditaati dan diamalkan.5

Menurut Azmi paham inkar sunah sudah ditemukan pada masa sahabat di daerah Iraq. Hal ini didukung oleh fakta bahwa ada para sahabat yang kurang menaruh perhatian terhadap sunnah sebagai sumber ajaranm Islam, al-Hasan menuturkan, ketika Imran bin Hushain mengajarkan hadis, ada seseorang yang minta agar tidak usah mengajarkan hadis, tetapi cukup al-Quran saja. Jawab Imran bin Hushain, ”Kamu dan sahabat-sahabatmu dapat membaca Al-Quran, maukah kamu mengajarkan shalat dan syarat-syaratnya kepadaku? Atau zakat dan syarat-syaratnya. Kamu sering absen, padahal Rasulullah telah mewajibkan zakat begini-begini.” Orang tadi menjawab, ”Terima kasih engkau telah menghidupkan kesadaran saya.” Dan ia kemudian hari menjadi seorang faqih.6

Menurut Edi Syafri yang mengutip pendapat A’zhamy mengatakan bahwa setelah kelompok inkar sunnah pada abad kedua Hijriyah, tidak ditemukan lagi inkar sunnah bahkan hampir sebelas abad kemudian, tetapi inkar sunnah kembali muncul pada abad keempatbelas Hijriyah atau peralihan abad kesembilan belas ke abad dua puluh Masehi.7

Al Mawdudi yang dikutip oleh Khadim Husein Ilahi Najasy, guru besar Fakultas Tarbiyah Jami’ah Ummi Qura Thaif mengatakan bahwa inkar sunnah lahir kembali di India setelah “mati suri” selama 11 abad dengan tokoh-tokohnya antara lain Sayyid Ahmad Khan (w. 1897 M), Ciragh Ali (w. 1898 M), Maulevi Abdullah Jakralevi (w. 1918 M) dsb. Penggagas Inkarussunnah di India ini adalah Sayyid Ahmad Khan. Sedang tokoh-tokoh lainnya sebagai pelanjut yang kemudian terpecah-pecah dalam berbagai sempalan seperti Ahl Ad-Dzikr wa Al-Qur’an oleh Abdullah, Ummat Muslimah oleh Ahmad Ad-Din, Thulu’ Al-Islam oleh Parwez dan Gerakan Ta’mir Insaniyat oleh Abdul Khaliq Malwadah.

Di Mesir terdapat tokoh Dr. Taufiq Shidqi (w. 1920 M) dengan beberapa artikel di Majalah Al-Mannar di antaranya: Al-Islam huwal-Qur’an Wahdah (Islam Hanyalah Qur’an saja), Ahmad Amin dengan bukunya berjudul Fajr Al-Islam, Mahmud Abu Rayyah dengan buku Adhwa’ ‘ala As-Sunnah Al-Muhammadiyyah, dll. Sedang di Malaysia ada tokoh Kasim Ahmad dengan tulisannya Hadits Satu Penilaian Semula dan di Indonesia terdapat Abdul Rahman, Sutarto, Nazwar Syamsu, Dalimi Lubis, dan H. Sanwani. Di antara karya-karya mereka telah dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

Sebab utama munculnya Inkarussunnah modern adalah kolonialisme yang semakin dahsyat sejak awal abad 19 M di Dunia Islam terutama India setelah terjadi pemberontakan terhadap Inggris pada 1857 M. Munculnya kelompok inkar sunnah sendiri telah diisyaratkan oleh Rasulullah SAW. Berita dari Yazid bin Harun berkata: berita dari Hariz dari Abdul al-Rahman bin Abi Auf al-Jurasyi dari al-Miqdam bin Madi berkata: Rasulullah bersabda: ”Ingatlah al-Quran dan hal yang seperti al-Quran yaitu hadis telah diturunkan kepadaku. Waspadalah! kelak akan muncul orang yang perutnya kenyang, ia malas-malas di atas kursinya. Ia mengatakan pakai al-Quran saja, apabila disitu ada keterangan yang menghalalkan, maka halalkan dan jika mengharamkan, maka haramkanlah.”8

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemungkinan besar inkar sunnah klasik lahir akibat konflik internal ummat Islam yang dikobarkan oleh sebagian kaum Zindik yang berkedok pada sekte-sekte Islam sedang inkar sunnah modern dipicu oleh kolonialisme-imperialisme terhadap Dunia Islam yang juga bertujuan mendangkalkan aqidah ummat Islam.

  1. Pokok Ajaran

Para penganut inkar sunnah sendiri sebenarnya terdiri dari tiga kelompok yaitu: pertama, mereka menolak hadis-hadis Rasulullah secara keseluruhan. Kedua, mereka menolak hadis Rasulullah kecuali hadis-hadis yang mengandung nashnya di dalam al-Quran. Ketiga, mereka menolak hadis ahad dan hanya menerima hadis mutawatir.9

Kesemuanya itu menurut Edi Syafri secara umum dapat disimpulkan bahwa pokok ajaran Inkarussunnah adalah menolak kehujjahan hadis Rasulullah sebagai sumber ajaran yang wajib dipatuhi dan diamalkan, lebih lanjut Edi Syafri mengatakan Inkarussunnah hanya meyakini al-Quran saja sebagai sumber ajaran agama, paham seperti ini menurutnya akan meruntuhkan ajaran-ajaran pokok agama, seperti shalat dan zakat, aturan-aturan shalat, syarat-syarat shalat, aturan zakat, nisab zakat. Perintah salat dan zakat dalam al-Quran masih bersifat umum, sedangkan tata cara mengerjakan salat dan tata cara berzakat tidak dijelaskan, dalam hal ini akan menyulitkan umat. 10 Selain itu, mereka beralasan bahwa hadits adalah karangan Yahudi untuk menghancurkan Islam dari dalam.

Sedangkan inkar sunnah yang tidak menerima hadis Rasulullah kecuali hadis yang yang membawa ajaran yang ada nashnya dalam al-Quran berargumen bahwa yang dijadikan pegangan dan rujukan utama untuk hujjah dan sumber ajaran agama adalah nash atau ayat-ayat al Quran bukan hadis, meskipun ada hadis yang membahas atau mengatur tentang suatu masalah mereka tidak menggunakan atau menerima hadis tersebut kalau tidak didukung oleh nash al-Quran.11


Kaum Inkarussunnah memiliki ajaran-ajaran pokok sebagai berikut:

  1. Syahadat mereka: ”Isyhadu bi anna muslimun”

  2. Shalat mereka bermacam-macam, ada yang shalat 2 rakaat-2 rakaat dan ada yang hanya ketika ingat saja.

  3. Puasa wajib hanya bagi orang yang melihat bulan saja, kalau seorang saja yang melihat bulan, maka ia seoranglah yang wajib berpuasa. Alasan ini merujuk ayat tentang puasa Ramadlan dalam Surah Al-Baqarah.

  4. Haji boleh dilakukan selama 4 bulan haram yaitu: Muharram, Rajab, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah.

  5. Pakaian ihram adalah pakaian Arab dan membuat repot. Oleh karena itu, waktu mengerjakan haji boleh memakai celana panjang dan baju biasa serta jas/dasi.

  6. Orang yang meninggal dunia tidak dishalati karena tak ada perintah dari Allah SWT.

  7. Rasul tetap diutus sampai Hari Kiamat.

  8. Nabi Muhammad tidak berhak menjelaskan kandungan isi Al-Qur’an.12


  1. Alasan

Adapun argumen mereka adalah:

  1. Bahwa al-Quran diturunkan Allah SWT dalam bahasa Arab, dan merupakan penjelas segala sesuatu, sehingga telah mencangkup segala sesuatu yang dibutuhkan oleh umat-Nya maka dengan bahasa Arab yang baik, akan dapat pula memahami al-Quran dengan baik, tanpa perlu penjelasan hadis-hadis Rasulullah.

  2. Hadis-hadis Rasululah sampai kepada kita melalui riwayat. Proses periwayatannya tidak terjamin dari kekeliruan, kesalahan dan kedustaan terhadap Rasulullah, oleh sebab itu nilai kebenarannya tidak meyakinkan (zhanny). selain Tidak dapat dijadikan penjelas (mubayyin) untuk al-Quran yang telah diyakini kebenarannya (qath’iy). Untuk dalil hanya yang qath’iy, sedangkan hadis bernilai zhanny maka tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak juga untuk penjelas ayat-ayat al-Quran.13 Selain itu, pada zaman Nabi penulisan sunnah dilarang, seandainya itu merupakan dasar hukum, mengapatah dilarang.

Argumen-argumen di atas mendapat beberapa sanggahan:

    1. Salah satu tugas Nabi adalah menerangkan Al-Qur’an pada manusia.

keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (An-Nahl: 44).

    1. Memang hadits sampai kepada kita melalui periwayatan, untuk menjaga kebenarannya, para ahli hadits menetapkan syarat-syarat tertentu dalam menerima sebuah hadits, sehingga tak sembarangan menerima hadits.

    2. Penulisan sunnah (hadits) dilarang oleh Nabi, karena:

      1. dikhawatirkan bercampur dengan Al-Qur’an

      2. ummat Islam pada awalnya bersifat ummi sehingga teknologi penulisan Al-Qur’an masih bersifat primitif meskipun demikian, orang-orang Arab sangat kuat hafalannya sehingga Nabi mencukupkan untuk menghafal saja, tanpa perlu menulis.


(Makalah ini disusun oleh Luqman Amirudin Syarif dan Iskandar Rohman, mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Alamat: luasy-01@plasa.com atau rumahlain-LuqmanAmirudin.blogspot.com)

DAFTAR PUSTAKA


Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang. 1974.

Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis

Riwayat. Inkar Sunnah. Blog: Oasisilmu.blogspot.com


1 Para periwayat secara kolektif dalam segala tingkatan

2 Periwayatan secara individual

3 Prof. DR. T.M. Hasby Ash-Shidiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1974) hlm. 25

4 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis. …….hlm. 58 dan Islam Intelektual, Inkar-Sunnah….hlm 1

5 Edi Syafri, Al-Imam Syafi’I : Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif (Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 1999), h. 34

6 Muhammad Musththafa Azami, Dirasat fi al Hadis al Nabawi wa Tarikh Tadwinihi (Beirut : al Maktabah al Islamiy, 1980), h. 21

7 Ibid. h. 41

8 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, kitab Musnad al Syamiyin, nomor Hadis 16546

9 Edi Syafri, Op.cit, h. 34

10 Ibid. h. 35-36

11 Ibid. h. 45

12 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits……,hlm. 36

13 Ibid. h. 35

MASYARAKAT MADANI DAN CITA PEMERINTAHAN HARAPAN

Terwujudnya Masyarakat Madani atau dalam istilah lain Civil Society merupakan cita-cita setiap bangsa. Hal ini tidaklah mengherankan sebab dalam suatu masyarakat yang bersifat madani, hak dan kewajiban antar warga negara maupun terhadap negara atau sebaliknya terjamin.

Keterjaminan tersebut dapat menimbulkan suasana aman, tenteram, tertib, dan sejahtera dalam suatu negara. Banyak usaha telah diretas untuk mewujudkan cita-cita tersebut khususnya di negara tercinta, Republik Indonesia. Di antara usaha tersebut ialah diselenggarakannya Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) yang berfokus pada keterwujudan masyarakat yang berperadaban mulai dari tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi.

Tetapi pada kenyataannya, teori-teori ideal yang terkandung dalam diktat-diktat Pendidikan Kewarganegaraan sulit kita temukan implementasinya, khususnya dalam bidang pemerintahan. Sehingga tak jarang konsep-konsep dari Pendidikan Kewarganegaraan tersebut hanya menjadi sebuah harapan belaka.


1. Pengertian Masyarakat Madani


Istilah “masyarakat madani” (al-mujtama’ al madaniy) terdiri dari dua kata, yaitu masyarakat dan madani. Masyarakat memiliki pengertian: “orang banyak, atau sekelompok orang yang hidup bersama-sama dalam suatu lingkungan tertentu.”1 Sedangkan madani berasal dari bahasa Arab yang berarti kota atau berperadaban. Sehingga menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas pengertian masyarakat madani adalah masyarakat atau sekelompok orang yang berperadaban. Masyarakat madani menurut konsep Islam merujuk pada masyarakat yang berkembang pada zaman Nabi Muhammad di Madinah Al-Munawwarah yang memiliki peradaban (tamaddun). Pengertian ini sejalan dengan rumusan sejenis dari Barat yakni civil society, yang bermakna masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban.2

“Pendidikan Kewarganegaraan” dapat didefinisikan sebagai: “suatu materi pendidikan yang bertujuan memberikan pengetahuan, sikap mental, nilai-nilai, dan perilaku yang menjunjung tinggi demokrasi.”

“Pemerintahan harapan” bisa diartikan pemerintahan yang diidam-idamkan oleh rakyatnya, yang mana para pelaku yang terlibat di dalamnya menjaga diri dari perbuatan melawan hukum disertai keinginan kuat untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.


2. Latar Belakang Konsep Masyarakat Madani di Indonesia


Istilah “masyarakat madani” dalam beberapa tahun belakangan menjadi isu penting dalam pergerakan Islam Indonesia dan telah menjadi wacana akademik yang menarik di kampus-kampus. Menurut beberapa sumber, istilah ini diperkenalkan oleh Dr. Anwar Ibrahim, mantan Deputi Perdana Menteri Malaysia untuk pertama kalinya pada forum Festival Istiqlal Tahun 1995 di Jakarta. Konsep ini merujuk pada masyarakat Madinah pada saat mendapat bimbingan Rasulullah Muhammad SAW. Masyarakat Madinah saat itu memiliki peradaban yang lebih unggul dibanding kota lain di Jazirah Arab karena mendapat pencerahan dari Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa konsep masyarakat madani ini adalah ijtihad akademisi Islam untuk menghadapi teori sejenis dari Barat yaitu civil society.

Sebagaimana kita ketahui bersama, saat konsep masyarakat madani dicetuskan, Indonesia tengah berada pada puncak kekuasaan Orde Baru yang menandai perayaan 50 tahun kemerdekaan. Konsep ini mulai mendapat perhatian untuk dikaji dan dilaksanakan terutama setelah kurang lebih pada pertengahan tahun 1996 meletus kerusuhan besar 27 Juli di Jakarta yang kemudian memicu menggejalanya amuk massa di pelbagai tempat seperti Situbondo, Tasikmalaya, Rengasdengklok, Sanggauledo, Pekalongan dan lain-lain. Puncaknya terjadi sekitar Pemilu 1997 dengan peristiwa “Jum’at Kelabu di Banjarmasin”.

Gejala amuk massa tersebut makin berkembang pada satu setengah bulan pertama 1998.3 Ketika krisis ekonomi makin berlarut, dimensi amuk massa itu tidak hanya dimensi sosial politik –secara spesifik, “pemberontakan” pendukung Mega dan kaum muda revolusioner semacam PRD atau PUDI- belaka tetapi juga menyentuh dimensi ekonomi. Hal itu terbukti dengan berkobarnya kerusuhan-kerusuhan di Pantura Jawa dan kerusuhan Mei 1998.

Peristiwa-peristiwa tersebut membuat bergulirnya reformasi yang diawali dengan mundurya H.M. Soeharto dari jabatan Presiden, 21 Mei 1998. Setelah reformasi inilah perhatian terhadap konsep masyarakat madani memperoleh perhatian lebih.

Sebagai contoh, sebagai bentuk perhatiannya, Muhammadiyah -salah satu organisasi kemasyarakatan Islam Indonesia yang memiliki ribuan amal usaha pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi- dalam Muktamar ke-44 di Jakarta, 2000 menghasilkan suatu rumusan bertajuk Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah yang berisi rangkuman dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits mengenai pandangan Islam tentang berbagai bidang kehidupan dengan harapan cita-cita masyarakat madani itu dapat terwujud setidak-tidaknya dimulai dari tubuh Persyarikatan.


3 Konsep Masyarakat Madani dalam Islam


Salah satu instrumen penting lagi mendasar bagi konsep masyarakat madani (civil society) ialah Pendidikan Kewarganegaraan. Sebagai agama besar yang menjadi agama mayoritas di Indonesia, Islam memiliki konsep Pendidikan Kewarganegaraan yang khas. Sebagai proto typenya, ummat Islam menyandarkan Pendidikan Kewarganegaraan khasnya dalam bingkai kehidupan bermasyarakat dan bernegara pada konsep Muhammad Rasulullah SAW dalam kedudukan beliau sebagai utusan Allah dan Kepala Negara Madinah.


Konsep Pendidikan Kewarganegaraan Menurut Cara Muhammad SAW


Muhammad SAW mengawali perannya sebagai kepala negara ketika beliau berhijrah atau berpindah ke Yatsrib -selanjutnya disebut Madinah- dengan mempersaudarakan atau mempersatukan kaum Muhajirin (pendatang dari Makkah) dengan kaum Anshar (pribumi Madinah) tanpa memandang status sosial mereka. Persaudaraan atau persatuan ini sangat melekat sehingga banyak kaum Anshar yang rela membagi kekayaannya bahkan isteri-isterinya (bagi yang berpoligami) dengan saudara mereka dari kalangan Muhajirin.

Setelah mempersatukan intern ummatnya, Muhammad SAW mengadakan perundingan dengan komunitas eksternal Islam di Madinah, yaitu kaum Yahudi. Perundingan itu menghasilkan sebuah konsensus nasional Negara Madinah, yang disebut Piagam Madinah.

Pasal-pasal dalam Piagam Madinah berisi deklarasi pengakuan hak-hak asasi manusia, persamaan kedudukan, dan hak serta kewajiban seluruh warga Madinah baik muslim maupun non-Muslim di bawah kepemimpinan Muhammad SAW sebagai Kepala Negara.

Tampaknya, terobosan Rasulullah Muhammad SAW ini merupakan terobosan pertama dalam sejarah modern manusia, jauh mendahului Magna Charta yang diagung-agungkan Barat atau Universal Declaration of Human Right PBB.

Secara tersirat, Piagam Madinah mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya hak dan kewajiban sebagai warga negara diatur sedemikian rupa sehingga terciptalah suatu masyarakat yang memiliki nilai keberadaban tinggi. Di dalamnya tergambar jelas bahwa masyarakat yang berkeadaban ialah masyarakat yang demokratis, menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran Ilahiah, keadilan, persamaan derajat, jiwa perdamaian, dan persatuan serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia sampai hal-hal terkecil seperti hubungan antar tetangga.

Cerminan dari nilai-nilai kebenaran ilahiah tercantum dalam salah satu pasal Piagam Madinah yang berbunyi: "Bahwa bilamana diantara kamu timbul perselisihan tentang sesuatu masalah yang bagaimanapun, maka kembalikanlah itu kepada Allah dan kepada Muhammad - 'alaihishshalatu wassalam”.4

Sedang cerminan dari semangat persamaan derajat dan pengakuan HAM banyak sekali, di antaranya ialah: "Bahwa orang-orang Yahudi Banu Auf adalah satu umat dengan orang-orang beriman. Orang-orang Yahudi hendaknya berpegang pada agama mereka, dan orang-orang Islampun hendaknya berpegang pada agama mereka pula, termasuk pengikut-pengikut mereka dan diri mereka sendiri, kecuali orang yang melakukan perbuatan aniaya dan durhaka. Orang semacam ini hanyalah akan menghancurkan dirinya dan keluarganya sendiri.”5

Asas demokrasi juga dipakai oleh Muhammad SAW melalui syura (permusyawaratan) dengan para sahabat (rakyat)nya. Jadi, meskipun beliau adalah seorang utusan Allah yang dijamin ma’shum (bebas dosa), beliau tetap memperhatikan pendapat-pendapat orang lain dalam memutuskan suatu permasalahan terutama dalam bidang kemasyarakatan dan kenegaraan.

Berdasarkan cara-cara Rasulullah tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa masyarakat madani menurut konsep Islam adalah suatu masyarakat yang menjunjung tinggi agama dan keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Allah ‘Azza wa Jalla, menghormati hukum dan hak-hak asasi manusia, menghilangkan diskriminasi, dan menerapkan nilai-nilai demokrasi dengan mengedepankan permusyawaratan (syura).

.

4 Pemerintahan Harapan


Selain cita masyarakat madani, cita-cita lain yang saat ini ingin diwujudkan oleh bangsa Indonesia ialah tegaknya suatu pemerintahan harapan. Keinginan ini sangat wajar mengingat selama 60 tahun lebih kemerdekaan, Indonesia banyak mengalami pahit getirnya rezim-rezim yang jauh dari harapan rakyat. Bila kita kilas balik ke belakang, Bung Karno Sang Proklamator sekaligus penguasa Orde Lama dengan sifat revolusioner dan kecenderungannya pada komunis-sosialis justru membuat perekonomian Indonesia pada perempat abad pertama kemerdekaan berantakan. Belum lagi derita rakyat diperparah dengan timbulnya pemberontakan-pemberontakan separatis di berbagai daerah dan kampanye ganyang Malaysia yang membuat Indonesia terkucil dari pergaulan dunia internasional. Begitu pula pada zaman Orde Baru yang berkuasa setelah Orde Lama tumbang. Meski secara lahirnya tampak tercipta kesejahteraan ekonomi, ternyata hal tersebut hanyalah menjadi semacam “bom waktu” bagi meledaknya krisis ekonomi di pertengahan 1997. Langkah-langkah politik yang serba otoriter dan mematikan demokrasi juga turut memberikan andil bagi runtuhnya rezim yang telah bercokol 32 tahun ini.

Kenyataan sejarah tersebut membuat cita untuk memiliki sebuah pemerintahan harapan sulit terwujud.

Untuk merealisasikan sebuah pemerintahan yang memenuhi harapan rakyat nilai-nilai masyarakat madani hendaknya tidak hanya dikembangkan dalam satuan masyarakat (individu, keluarga, dan lingkungan) tetapi juga harus dikembangkan pada level negara (civil state). Salah satu bentuk nyata dari cita pemerintahan harapan adalah penciptaan pemerintahan yang bersih dan demokratis.

Pemerintahan bersih dapat dijelaskan sebagai keadaan pemerintahan yang mana para pelaku yang terlibat di dalamnya menjaga diri dari perbuatan korupsi yaitu perbuatan pejabat pemerintah yang menggunakan uang pemerintah dengan cara-cara illegal, kolusi yaitu bentuk kerjasama antara pejabat pemerintahan dengan oknum lain secara tidak sah untuk mendapat keuntungan material bagi mereka, dan nepotisme yaitu pemanfaatan jabatan untuk memberi pekerjaan, kesempatan, atau penghasilan, bagi keluarga atau kerabat dekat pejabat yang menyebabkan tertutupnya kesempatan bagi orang lain.6

Untuk menegakkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa lagi demokratis diperlukan berbagai kondisi dan mekanisme hubungan yang berpotensi menopang pertumbuhan moralitas politik disertai pengembangan budaya demokrasi.7 Kondisi dan mekanisme hubungan yang dimaksud yakni sistem demokratis dalam pemerintahan, sistem pemilihan untuk melakukan pergantian pemerintahan secara reguler yang baik guna menghindari penggunaan kekerasan berdarah, sistem kepartaian yang menghormati asas-asas demokrasi, organisasi-organisasi non-pemerintah (ornop/NGO) yang tidak menjadikan perebutan jabatan publik sebagai tujuan utama sehingga mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan, media massa yang memainkan perannya dengan obyektif, perilaku anti-KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), adanya kepastian hukum, dan pelaksanaan otonomi daerah yang dapat mengayomi daerah-daerah. Kesemuanya itu harus menjadi komitmen bagi Pemerintah jika ingin menjadi pemerintahan harapan rakyat.

Dalam kaitannya dengan pemerintahan harapan yang demokratis, penyelenggaraan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan cara paling strategis untuk “mengalami demokrasi”. Penyebaran konsep, sistem, nilai, dan budaya demokrasi secara spesifik dan nilai-nilai kewarganegaraan secara umum melalui pendidikan kian penting ketika bangsa ini mengalami krisis multi-dimensional berkepanjangan di tengah transisi sosial-politik menuju demokrasi.8 Melalui Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan generasi mendatang yang tumbuh dan berkembang melalui rahim pendidikan dapat mengetahui hak dan kewajiban warga negara khususnya dalam hubungannya dengan negara dengan jelas. Sehingga dengan pengetahuan tentang hak dan kewajibannya itu, mereka dapat mendorong terselenggaranya pemerintahan harapan. Hal tersebut tentunya wajib diiringi dengan upaya yang baik dan peran signifikan dari seluruh warga negara.


Kesimpulan


Masyarakat madani dapat dikatakan terwujud bilamana dalam masyarakat tersebut terdapat sikap menjunjung tinggi agama dan keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Allah ‘Azza wa Jalla, menghormati hukum dan hak-hak asasi manusia, menghilangkan diskriminasi, dan menerapkan nilai-nilai demokrasi.

Salah satu aplikasi dari pemerintahan harapan ialah pemerintahan yang bersih dan demokratis yaitu pemerintahan yang mana para pelaku yang terlibat di dalamnya menjaga diri dari perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Untuk menegakkannya diperlukan berbagai kondisi dan mekanisme hubungan yang berpotensi menopang pertumbuhan moralitas politik disertai pengembangan budaya demokrasi antara lain sistem demokratis dalam pemerintahan, sistem pemilihan untuk melakukan pergantian pemerintahan secara reguler yang baik guna menghindari penggunaan kekerasan berdarah, sistem kepartaian yang menghormati asas-asas demokrasi, organisasi-organisasi non-pemerintah (ornop/NGO) yang tidak menjadikan perebutan jabatan publik sebagai tujuan utama sehingga mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan, media massa yang memainkan perannya dengan obyektif, perilaku anti-KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), adanya kepastian hukum, dan pelaksanaan otonomi daerah.

Melalui Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan generasi mendatang yang tumbuh dan berkembang melalui rahim pendidikan dapat memahami konsep masyarakat madani, mengetahui hak dan kewajiban warga negara khususnya dalam hubungannya dengan negara dengan jelas. Sehingga pengetahuan tentang hak dan kewajibannya itu dapat mendorong terselenggaranya pemerintahan harapan di masa mendatang.


Saran


Supaya cita-cita masyarakat madani dan pemerintahan harapan dapat terwujud, hendaknya warga negara mampu berperan aktif dan signifikan mendorong terealisasinya nilai-nilai kewarganegaraan dalam kehidupan. Di samping itu, diperlukan komitmen penuh dari Pemerintah untuk melaksanakan cita-cita reformasi yang menghendaki bangsa ini menjadi lebih baik, lebih beradab, dan lebih demokratis.



(Makalah disusun oleh Luqman Amirudin Syarif, mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Alamat: luasy-01@plasa.com atau rumahlain-LuqmanAmirudin.blogspot.com)


DAFTAR PUSTAKA

Asykuri, dkk. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan Menuju Kehidupan yang Demokratis dan Berkeadaban. Yogyakarta: Majelis Pendidikan Tinggi dan Penelitian-Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Fatah, Eep Saefullah. 1998. Catatan atas Gagalnya Politik Orde Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Haekal, Muhammad Husein. 1980. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Pustaka Jaya.

Marsaban, Ali. dkk. 1983. Kamus Bahasa Indonesia untuk Remaja Jilid 3. Bandung: Penerbit Angkasa.


1 Marsaban, Ali. dkk. 1983. Kamus Bahasa Indonesia untuk Remaja Jilid 3. Bandung: Penerbit Angkasa hlm. 55.

2 Asykuri, dkk. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan Menuju Kehidupan yang Demokratis dan Berkeadaban. Yogyakarta: Majelis Pendidikan Tinggi dan Penelitian-Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah hlm. 23.

3 Fatah, Eep Saefullah. 1998. Catatan atas Gagalnya Politik Orde Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar hlm xxvi.

4 Haekal, Muhammad Husein. 1980. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Pustaka Jaya Bag. Kesepuluh

5 Ibid.

6 Asykuri, dkk. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan Menuju Kehidupan yang Demokratis dan Berkeadaban. Yogyakarta: Majelis Pendidikan Tinggi dan Penelitian-Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah hlm. 54.

7 Ibid. hlm. 55

8 Ibid. hlm. 22